Selasa, 02 Desember 2014

Pedagang Kursi Bambu Wulung Keliling, Dari Satu Kota ke Kota Lain


   
Demi Menopang Perekonomian Keluarga
Menjadi kepala keluarga untuk seorang istri dan tiga orang anaknya, bukanlah hal yang mudah bagi Wito, pria paruh baya asal Banyumas, Jawa Tengah, untuk menafkasi keluarganya yang ada di kampung halamannya, dari tahun ke tahun.

MARTA, Tanjung Redeb

LALU lalang kendaraan dan teriknya matahari di Bumi Batiwakkal -- sebutan Kabupaten Berau -- tak lantas mematahkan semangat dari pria kelahiran 7 Maret 1961 ini untuk mendagangkan kursi bambu wulungnya setiap hari.
Terik matahari yang menyengat kulit coklatnya tak membuatnya putus asa, bahkan saat hujan tiba-tiba mengguyur sedikit pun ia tak ambil pusing.
Mulai dari kota Palembang, Bandung, Medan, Sumatera, Tarakan hingga Berau, telah ia jelajahi berdagang kursi sejak 5 tahun terakhir.
Dengan bermodalkan sebuah gerobak kayu berukuran panjang 2 meter dan lebar 1 meter, setiap langkah yang ditemani dengan titik keringat membawa pria asal Banyumas, Jawa Tengah, ini mengelilingi Kabupaten Berau dengan harapan seluruh kursi dagangannya itu habis terjual.
Wito tak lellah berjalan kaki mengelilingi kabupaten Berau demi menjual barang dagangannya
Baginya, menjadi penjual kursi keliling sudah menjadi profesinya sejak dulu, terhitung sejak tahun 2000-an. Saat itu kondisi fisik yang masih mendukung untuk menjadi pembuat kursi bambu wulung ia manfaatkan untuk membuat kursi sebanyak-banyaknya, namun ketika keadaan fisik mulai tidak mendukung pekerjaan tersebut lagi, ia pun mulai berhenti membuat kursi dan beralih menjadi pedagang kursi bambu keliling.
“Awalnya, saya pembuat kursi juga, tapi karena proses pembuatannya yang sedikit rumit dan membutuhkan tenaga serta fisik yang prima membuat saya mundur. Nggak tahan karena sering sakit di bagian perut kalau lagi membuat kursi pesanan yang cukup banyak,” ungkap ayah tiga anak ini.
Kini ia hanya bisa mengambil kursi dari pembuat kursi bambu yang masih bertahan di kampung halamannya. Setiap bulan, lebih kurang 1 kontainer kursi bambu wulung dari Jawa Tengah ia jual berkeliling di seputaran Kabupaten Berau, dari Teluk Bayur, Gunung Tabur, Tanjung Redeb hingga Sambaliung.
Satu set kursi rumah tangga yang terbuat dari bambu wulung etrsebut berisikan 1 kursi berukuran panjang, 2 kursi berukuran sedang dan 1 meja kecil ia jual seharga Rp 1,6 juta. Sedangkan untuk kursi dengan ukuran 2 meter ia jual Rp 350 ribu per buah.
Wito bersama seorang rekan satu kampungnya dari Pulau Jawa menyewa sebuah rumah kecil di sekitaran kilometer 5 sebagai tempat tinggal sementara selama mencari nafkah di Berau. Menurutnya, penghasilan berdagang kursi bambu di Berau jauh lebih besar dibanding saat berjualan di kota-kota lainnya.
“Sudah hampir 2 bulan ini saya berdagang kursi di Berau, berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan saya rasa kalau di Berau penghasilan yang saya dapatkan jauh lebih besar dari pada di kota lain,” kata suami Endang tersebut.
Penghasilan yang didapatkan selama menjadi pedagang kursi bambu wulung keliling cukup membantu menopang perekonomian keluarganya yang tergolong menengah ke bawah. Ia juga mampu membiayai kuliah anak-anaknya hingga meraih gelar sarjana.
“Anak saya ada yang kuliah sampai sarjana, walaupun cuma berdagang kursi keliling, tapi saya cukup terbantu untuk biaya kuliah anak. Tapi pernah juga seharian keliling nggak laku sama sekali, tergantung rezeki juga sih,” katanya sambil mengusap keringat.
Anak dan istri yang tetap menetap di kampung halaman, menuntut Wito, untuk tetap memenuhi kewajibannya pada keluarga, yakni mengirimkan uang setiap bulan. Pekerjaan yang tidak menetap pada satu kota membuatnya terkadang merindukan keluarganya.
“Setiap saya pindah kota, saya selalu berpikir kapan saya bisa menetap dan berkumpul dengan keluarga saya di kampung halaman untuk waktu yang lama. Tapi saya selalu mengirimkan mereka uang setiap bulan, bahkan belum sebulan saya kirimkan lagi mereka uang, semoga sepulangnya saya dari kota Berau saya bisa langsung kembali bertemu keluarga,” ucapnya.
Diakhir pembicaraan, terbersit sebuah harapan untuk dapat membahagiakan istri serta ketiga anaknya. Dengan tetesan keringat dari satu kota ke kota lain ia percaya ketika kembali ke Banyumas, ia mampu memberikan yang terbaik kepada keluarganya.(*/mrt/zis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar