Demi Menopang Perekonomian Keluarga
Menjadi kepala keluarga untuk seorang istri dan tiga
orang anaknya,
bukanlah
hal yang mudah bagi Wito, pria
paruh baya asal
Banyumas, Jawa Tengah, untuk
menafkasi keluarganya yang ada di kampung halamannya, dari tahun ke tahun.
MARTA, Tanjung
Redeb
LALU
lalang kendaraan dan
teriknya matahari di Bumi Batiwakkal -- sebutan Kabupaten
Berau -- tak lantas mematahkan semangat dari pria kelahiran 7 Maret 1961 ini untuk mendagangkan kursi bambu wulungnya setiap hari.
Terik matahari yang menyengat kulit coklatnya tak membuatnya putus asa, bahkan saat
hujan tiba-tiba mengguyur sedikit pun ia tak ambil pusing.
Mulai dari kota Palembang, Bandung, Medan, Sumatera,
Tarakan hingga Berau,
telah ia jelajahi berdagang kursi sejak 5 tahun terakhir.
Dengan bermodalkan sebuah gerobak kayu berukuran
panjang 2 meter dan lebar 1 meter, setiap langkah yang ditemani dengan titik
keringat membawa pria asal Banyumas, Jawa Tengah, ini mengelilingi Kabupaten Berau dengan
harapan seluruh kursi dagangannya
itu
habis terjual.
Wito tak lellah berjalan kaki mengelilingi kabupaten Berau demi menjual barang dagangannya |
Baginya,
menjadi penjual kursi keliling sudah menjadi profesinya sejak dulu, terhitung
sejak tahun 2000-an.
Saat itu kondisi fisik yang masih mendukung untuk menjadi pembuat kursi bambu wulung ia manfaatkan untuk membuat
kursi sebanyak-banyaknya, namun ketika keadaan fisik mulai tidak mendukung
pekerjaan tersebut lagi,
ia pun mulai
berhenti membuat kursi dan beralih menjadi pedagang kursi bambu keliling.
“Awalnya,
saya pembuat kursi juga, tapi karena proses pembuatannya yang sedikit rumit dan
membutuhkan tenaga serta fisik yang prima membuat saya mundur. Nggak tahan
karena sering sakit di bagian
perut
kalau lagi membuat kursi pesanan yang cukup banyak,” ungkap ayah tiga anak ini.
Kini ia hanya bisa mengambil kursi dari pembuat
kursi bambu yang masih bertahan di kampung halamannya. Setiap bulan, lebih kurang 1 kontainer kursi bambu
wulung dari Jawa Tengah ia jual berkeliling di seputaran Kabupaten Berau, dari
Teluk Bayur, Gunung Tabur, Tanjung Redeb hingga Sambaliung.
Satu
set kursi rumah tangga yang terbuat dari bambu wulung etrsebut berisikan 1 kursi
berukuran panjang, 2 kursi berukuran sedang dan 1 meja kecil ia jual seharga Rp 1,6 juta. Sedangkan untuk kursi
dengan ukuran 2 meter ia jual
Rp
350 ribu per buah.
Wito bersama seorang rekan satu kampungnya dari Pulau Jawa menyewa sebuah rumah kecil di
sekitaran kilometer 5
sebagai tempat tinggal sementara
selama mencari nafkah
di Berau.
Menurutnya, penghasilan berdagang kursi bambu di Berau jauh lebih besar
dibanding saat berjualan di kota-kota lainnya.
“Sudah hampir 2 bulan ini saya berdagang kursi di
Berau, berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan saya rasa kalau di
Berau penghasilan yang saya dapatkan jauh lebih besar dari pada di kota lain,”
kata suami Endang tersebut.
Penghasilan yang didapatkan selama menjadi pedagang
kursi bambu wulung keliling cukup membantu menopang perekonomian keluarganya yang tergolong menengah ke bawah.
Ia juga mampu membiayai kuliah anak-anaknya hingga meraih gelar sarjana.
“Anak saya ada yang kuliah sampai sarjana, walaupun
cuma berdagang kursi keliling, tapi saya cukup terbantu untuk biaya kuliah anak. Tapi pernah juga seharian
keliling nggak laku sama sekali, tergantung rezeki juga sih,” katanya sambil mengusap keringat.
Anak dan istri yang tetap menetap di kampung halaman, menuntut Wito, untuk tetap memenuhi kewajibannya
pada keluarga, yakni mengirimkan uang setiap bulan. Pekerjaan yang tidak
menetap pada satu kota membuatnya terkadang merindukan keluarganya.
“Setiap saya pindah kota, saya selalu berpikir kapan
saya bisa menetap dan berkumpul dengan keluarga saya di kampung halaman untuk
waktu yang lama. Tapi saya selalu mengirimkan mereka uang setiap bulan, bahkan
belum sebulan saya kirimkan lagi mereka uang, semoga sepulangnya saya dari kota
Berau saya bisa langsung kembali bertemu keluarga,” ucapnya.
Diakhir pembicaraan, terbersit sebuah harapan untuk
dapat membahagiakan istri serta ketiga anaknya. Dengan tetesan keringat dari satu
kota ke kota lain ia percaya ketika kembali ke Banyumas, ia mampu memberikan yang
terbaik kepada keluarganya.(*/mrt/zis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar