Minggu, 07 Desember 2014

Menengok Seni Kerajinan Kaca Patri di Kota Sanggam



Menengok Seni Kerajinan Kaca Patri di Kota Sanggam
 
Omzet Rp 30 Juta Per Bulan, Perlu 3 Lapis Kaca

Kaca patri atau kaca hias yang memiliki aneka motif dan warna kerap menjadi pilihan untuk memperindah suatu bangunan. Namun, masih banyak yang belum mengetahui proses pembuatan kaca berkarakter seni tersebut.

MARTA, Tanjung Redeb

Seni pembuatan kaca patri yang masih jarang ditemui di Bumi Batiwakkal – sebutan Kabupaten Berau – membawa seorang pria bernama lengkap Sutanto, kelahiran Palembang, Sumatra Selatan, menekuni bisnis bengkel kaca patri, sejak 6 tahun silam.
Berbekal pengalaman selama 5 tahun saat menjadi karyawan di salah satu tempat pembuatan kaca patri di Balikpapan, tangannya mulai terlatih untuk membuat kaca-kaca indah tersebut.
Pemekaran daerah serta perkembangan Kabupaten Berau yang cukup pesat sekitar tahun 2009, didukung dengan keberadaan pengrajin kaca patri yang masih cukup jarang ditemukan semakin mendorong semangat pria berdarah Jawa ini, untuk membuka lahan bisnis yang dianggap cukup menguntungkan.
Di ruangan berukuran sekitar 4x6 meter, suara mesin gurinda yang beradu dengan kaca terdengar silih berganti dengan suara ketukan pahat. Sebuah meja dengan alas papan kayu digunakan untuk meletakkan kaca-kaca yang akan disulap menjadi kaca hias bernilai jual tinggi.
Namun, tak semudah yang dibayangkan, beberapa proses harus dilakukan demi menciptakan sebuah tampilan kaca patri yang menawan. Pria kelahiran 27 Februari 1982 silam ini pun tak keberatan berbagi pengalaman seputar proses pembuatan kaca hias tersebut.
“Untuk membuat kaca hias atau kaca patri ini lumayan rumit, karena harus betul-betul detail pembuatannya, dan bisa memakan waktu sekitar 4 hari untuk pembuatan satu meter persegi kaca patri,” ungkapnya sambil memperlihatkan alat-alat yang digunakan.
Menurutnya, ada beberapa langkah yang harus benar-benar diperhatikan dalam membuat kaca patri. Pertama, menentukan pola keinginan para pemesan. Banyak pola yang dapat dibentuk oleh bapak beranak satu tersebut, di antara pola yang paling sederhana misalnya desain motif bunga.
Setelah mendapatkan pola yang diinginkan, kemudian proses selanjutnya adalah memotong kaca mengikuti pola yang telah dibentuk. “Untuk proses pemotongannya ini kita menggunakan alat pemotong kaca yang khusus, karena memang harus rapi, tidak bisa sembarangan potong. Setelah itu potongannya harus dirakit lagi. Mengikuti pola yang sudah ditentukan,” sambungnya.
Pria yang masih menyewa rumah di Jalan DR Murjani III, Tanjung Redeb, tersebut memperlihatkan bagaimana proses pembuatan kaca patri yang sedang dilakukan oleh anak buahnya.  “Nah, setelah dirakit kemudian disatukan lagi pakai alat solder dan didempul, ini proses yang lumayan rumit, tapi sudah sampai pada proses finishing-nya,” kata anak kedua dari empat bersaudara tersebut.
Lebih dalam lagi, pria yang telah memiliki 3 karyawan ini menjelaskan bahwa kaca patri memiliki beberapa jenis dengan kualitas dan harga yang berbeda-beda. “Kalau patri itu ada 3 jenis yang biasa saya kerjakan, jenis kuningan dan monel harganya sekitar Rp 3,3 juta per meter persegi, kalau jenis timah Rp 2,7 jutaan,” jelasnya.
Selain kaca patri, ia juga menekuni pembuatan kaca gravir, bevel, prasasti, dan kusen aluminium. Katanya, proses pembuatan kaca gravir lebih mudah dibanding kaca patri yang berlapis hingga 3 kaca.  “Kalau gravir itu lebih mudah daripada patri, karena gravir cuma satu lapisan saja. Sedangkan patri harus dilapis 3, supaya keindahannya itu lebih dapat,” kata Sutanto sembari memperlihatkan jenis kaca gravir buatannya.
Bercerita penghasilan yang didapatkan setiap bulan dari usaha tersebut, omzet bisa mencapai Rp 30 juta per bulan. Penghasilan yang cukup besar bagi seorang perantau yang bertujuan membuka lahan bisnis di tanah kelahiran orang lain.
Selama mendirikan usaha bengkel kaca patri, kesulitan yang paling sering dialaminya hingga saat ini, adalah bahan baku yang masih dipesan dari Kota Samarinda. Sedangkan untuk konsumen, ia mengaku jauh lebih menguntungkan saat berbisnis di Kabupaten Berau dibanding dengan Kota Balikpapan.
“Sejauh ini, saya rasa yang di Berau cukup banyak yang berminat pada kaca hias ini, mungkin juga karena faktor pengrajin kaca hias yang masih kurang. Belum pengin balik ke kampung halaman kalau begini keadaannya, paling-paling kalau menengok orangtua saja. Karena Berau cukup mendukung keberadaan usaha saya ini,” ungkapnya sembari tersenyum.
Harapan yang ingin ia capai hingga saat ini, hanyalah menjalankan bisnis tersebut sebaik-baiknya, memuaskan para pelanggan dengan desain-desain terbaru buatannya, serta menjaga kualitas. “Semoga pekerjaan yang saya jalani saat ini dapat terus menunjukkan kemajuan dan keberhasilan saya dalam bidang seni, dan para pelanggan juga terpuaskan dengan hasil karya kami,” ujarnya. (*/mrt/fir)

Ketika Jurnalis Diajak Latihan Menembak



Ketika Jurnalis Diajak Latihan Menembak

Tarik Pelatuk Pelan-Pelan, Puas Tembak Target

“Sikap tiarap. . . pasang magasin. . . pastikan senjata terisi dan terkunci,” begitu kira-kira teriakan salah seorang anggota Batalyon Armed 18/105 Tarik Buritkang, yang ditugaskan menjadi instruktur bagi para peserta pelatihan menembak, sebelum melepaskan peluru pada target sasaran.

MARTA, Teluk Bayur

Terik matahari yang menyengat kulit sama sekali tidak menyurutkan semangat para anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Markas Batalyon Armed 18/105 Tarik Buritkang di Kecamatan Teluk Bayur, untuk berjalan kaki menyusuri tanah kuning menuju lapangan tembak.
Beberapa matras dan senjata api laras panjang jenis Fabrique Nationale Carbine (FNC) 5,56 yang diletakkan para pria berseragam loreng dan bertubuh kekar, siap digunakan untuk menembak target sasaran atau yang disebut lesan yang berada 100 meter di depan mereka.
Tidak bisa sembarangan memegang senjata tersebut, ada teknik khusus yang harus dilakukan demi faktor keselamatan. “Jarang-jarang bisa memegang senjata api seperti ini, apalagi sampai diperbolehkan menembakkannya, diajari tekniknya pula,” kata salah seorang jurnalis sambil mengangkat senjata api milik TNI AD tersebut.
Kali ini, dalam rangkaian Hari Jadi ke-69 TNI, tamu undangan seperti perwakilan dari PDAM Tirta Segah dan para jurnalis dari beberapa media cetak dan televisi, tak mau melewatkan kesempatan berlatih menembak bersama pria-pria tangguh pembela negara tersebut.
Satu demi satu peserta yang ingin mencoba menggunakan senjata api berbobot sekitar 3,5 kilogram buatan Amerika dan Belgia tersebut, mulai bertiarap di atas matras yang telah disediakan. Lalu kemudian memposisikan diri senyaman mungkin sambil mengikuti aba-aba dari instruktur.
“Arahkan senjata tepat pada lesan yang ada di depan, jangan sampai senjata terlepas dari pegangan karena ini sudah ada amunisinya. Pelan-pelan tarik pelatuknya,” tegas instruktur latihan tembak, kemarin siang (4/12).
Dibutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi untuk membuat peluru tepat pada sasaran. Popor senjata api harus diletakkan secara tepat pada bagian bahu. “Dor..., dor..., dor...!!!” suara tembakan dari senjata api terdengar sangat nyaring, selongsong peluru pun terlempar ke mana-mana.
Raut wajah bangga dan percaya diri dari para penembak dadakan yang berada di tengah lapangan tembak tersebut, terlihat mengibaskan senyum puas. Tak hanya sekali, penembak dadakan yang masih menyimpan rasa penasaran diberi kesempatan untuk mencoba menembak beberapa kali lagi.
Ya, itulah anggota TNI. Sosoknya yang terkadang ditakuti namun tampak begitu ramah ketika berada di tengah para tamu undangan dan wartawan. Demi menjalin tali silaturahmi serta membuat keberadaan TNI di tengah-tengah masyarakat menjadi sesuatu yang berguna dan tidak lagi menakutkan, seperti anggapan kebanyakan orang sebelumnya. Salah seorang anggota TNI, Wahyu Hidayat, mengatakan bahwa beberapa kegiatan sosial telah mereka laksanakan saat peringatan Hari Jadi TNI.
“Sebelumnya, kami sudah melakukan berbagai macam kegiatan, seperti karya bhakti di beberapa kampung, ziarah ke makam pahlawan, donor darah, dan memberikan bantuan kepada orang-orang yang berhak, dan latihan tembak ini juga salah satunya,” ungkapnya di sela-sela kegiatan latihan menembak.
“Berasal dari masyarakat, untuk kepentingan masyarakat dan melindungi masyarakat. Nah, bagaimana caranya kita bisa kembali ke masyarakat, mungkin dengan cara-cara mendekatkan diri seperti ini,” kata pria yang akrab disapa Wahyu itu.
Dengan harapan agar kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetap berjaya dan berguna bagi kemajuan bangsa, kegiatan yang lebih mendekatkan diri kepada masyarakat akan digelar secara rutin setiap tahun oleh TNI.
“Ke depan, kita akan tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti ini, dan semoga apa yang telah kami lakukan bisa bermanfaat bagi seluruh masyarakat,” tuturnya. (*/mrt//fir)

Selasa, 02 Desember 2014

Berau Juga Punya Batu Akik, yang Tak Kalah Menarik dari Daerah Lain



Model Bulu Monyet Dihargai Rp 60 Juta Per Unit



Banyak orang mengenal batu akik sebagai batu yang mampu menambah aura dari pemakainya. Juga sebagai jimat, bahkan ada yang mengatakan batu akik adalah pelancar rezeki. Dari sinilah muncul ide kreatif dari seorang pria bernama Annas, untuk membuat karya dari bebatuan tersebut.

MARTA, Tanjung Redeb

SUARA gurinda yang berbunyi begitu nyaring memenuhi ruangan berukuran sekira 3 x 4 yang digunakan pria kelahiran 13 Mei 1978 ini dalam mengerjakan deretan pesanan cincin dan liontin dari para pelanggannya.
Berawal dari ketertarikannya pada benda-benda bernilai seni, ayah dua anak ini mulai mengoleksi berbagai macam jenis batuan akik sejak tahun 2000-an silam. Lebih kurang sebanyak 300 jenis batuan akik seperti batu jamrud, kecubung, hingga bacan telah memenuhi tempat koleksinya.
Bertahun-tahun menjadi seorang kolektor batu yang tidak semua orang memilikinya, membuatnya berpikir lebih cerdas lagi. Dan nilai jual batu akik yang cukup tinggi membuat ia tercetus untuk menjadi pengrajin atau pembuat cincin bermatakan batu berbagai warna dan motif ini.
“Awalnya saya cuma koleksi saja, tapi setelah beberapa tahun baru terpikir untuk menjalankan bisnis membuat perhiasan dari bebatuan ini,” kata Annas saat disambangi media ini di rumah beberapa hari lalu.
Bermodalkan sebuah alat gurinda, lem perekat dan ampelas, Annas mampu meraup keuntungan hingga jutaan rupiah setiap bulannya. Mencari bongkahan batu akik bukan hal yang sulit baginya, setiap hari Minggu bersama teman-teman yang juga menjadi pencinta bebatuan. Ia menyusuri Kampung Sambarata, Meraang, Kelay hingga Segah untuk menemukan batu berbagai jenis warna tersebut.

“Kalau mencari bongkahan batu ini cukup gampang, karena memang di Kabupaten Berau ini sangat banyak terdapat batuan akik. Kami biasanya pergi berombongan pada hari Minggu atau hari-hari libur lainnya,” ucap pria yang tinggal di Jalan Parapatan, Tanjung Redeb ini.
Membuat sebuah cincin ataupun liontin, kata dia, membutuhkan waktu yang berbeda-beda, tergantung jenis batu yang digunakan. Pembentukan jenis batu akik yang berasal dari fosil pepohonan biasanya lebih mudah dibanding dengan jenis batu akik lainnya. Karena menurutnya, batu akik dari fosil pohon ini memiliki tekstur yang lebih keras, sehingga lebih memudahkan dalam proses penggurindaan (pembentukannya).
Usaha yang ia lakoni sejak awal tahun ini, cukup membantu perekonomian keluarganya, bahkan diakuinya, pesanan yang terlalu banyak dari para ‘penggila batu’ sering membuatnya kewalahan.  “Kalau yang berminat sebenarnya cukup banyak, tapi masih sebatas ‘penggila batu’ alias orang yang koleksi bebatuan saja. Apalagi memang belum banyak yang mengerti tentang batu akik,” ucapnya sambil terus mengampelas sebuah cincin pesanan pelanggannya.
Untuk harga, penjualan perhiasan batu akik ini tergantung jenis, warna dan motifnya. Tidak ada ketetapan harga yang ditawarkan oleh Annas, tergantung calon pembeli yang merasa tertarik dengan bebatuan tersebut. Semakin unik dan langka batunya, maka harganya pun semakin mahal.

Koleksi-koleksi cincin dan liontin yang dimiliki Annas, membuatnya tertarik untuk mempelajari teknik pembuatannya. Namun, bukan dari kursus ataupun sekolah khusus, diakuinya bahwa ia mempelajari cara pembuatan cincin dan liontin dari batu akik tersebut secara otodidak.
Mulanya, ia mencoba beberapa kali, namun karena belum terbiasa, hasilnya pun kurang sempurna. Setelah mencoba beberapa kali, dan terus memperbaiki hasil buatannya, kini perhiasan batu akiknya setara dengan buatan para ahli akik di daerah lain.
Untuk jenis batu akik Berau, kata dia, memiliki beberapa jenis di antaranya, batu Sulaiman Gambar dengan harga terendah Rp 1,5 juta, jenis Sarang Tawon, dan Kecubung Air berkisar Rp 5 juta-Rp 7 juta. Sedangkan jenis Lumut, Fosil Kayu dengan serat emas dan perak, Fosil Bambu, dan batu akik Bulu Monyet yang tegolong batu termahal yang nilai bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Untuk batu akik jenis Bulu Monyet, saat ini ia tidak memperjual belikan, karena dianggap sebagai batu yang langka. Namun, kata dia, harga yang ia targetkan saat ini untuk batu jenis tersebut adalah Rp 60 juta.
Selain batu akik khas Berau, Annas juga mengoleksi bebatuan akik dari luar daerah. Seperti dari Pacitan yaitu batu fosil kayu sepah, dari Sumatera adalah batu Lavender dan  Supritus, dan dari Garut adalah batu Lumut Suliki. Saat ini, batu akik yang paling banyak peminatnya adalah jenis Sulaiman Gambar dan batu Pasak Perak atau Besi.
Di balik hobi koleksi batu akik dan usahanya membuat perhiasan, Annas ternyata memiliki impian agar Kabupaten Berau dapat dikenal hingga ke luar daerah dengan potensi sumber daya alam (SDA) berupa batu akik dan lainnya.
“Mungkin kalau Berau belum terlalu terkenal dengan batu akiknya, tidak seperti Halmahera dan beberapa daerah yang sangat terkenal dengan batu perhiasannya. Tapi sejauh ini saya sudah mulai memperkenalkan kepada teman-teman bahwa di Berau juga banyak sekali batu akik yang luar biasa indahnya dan lebih mudah mendapatkannya,” tuturnya.
Saat ini, Annas pun sudah tergabung dalam sebuah komunitas pencinta batu-batu perhiasan. Namun visi dan misi komunitas tersebut untuk memperkenalkan budaya alam Bumi Batiwakkal --sebutan Kabupaten Berau—ini masih terkendala sarana promosi yang dinilai masih sulit.
“Belum banyak yang mengetahui manfaatnya, sehingga untuk promosi juga masih agak sulit. Tapi saya dan teman-teman tetap bertekad untuk memperkenalkan kepada daerah lain bahwa Berau juga memiliki batu akik yang tidak kalah indahnya. Semoga kami bisa membuat kontes batu akik nantinya,” tuturnya seraya tersenyum mengakhiri komentarnya.(*/mrt/zis)