Budaya
asing yang kian mewabah di Indonesia mulai mengikis eksistensi budaya lokal
yang sarat akan makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh dan terjaga,
diperlukan usaha untuk mempertahankan kearifan budaya nenek moyang yang menjadi
identitas negeri tercinta.
Salah satu kebudayaan suku Dayak Kenyah yang hingga kini masih bertahan. |
MARTA, Bena Baru
Kampung
Bena Baru
merupakan salah satu kampung yang menjadi bagian dari Kecamatan Sambaliung.
Kampung ini dapat ditempuh melalui jalan darat sekitar satu jam dari Kota
Tanjung Redeb, kemudian menyeberangi sungai kecil menggunakan ketinting kurang
lima menit.
Kondisi
jalan menuju kampung yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak Kenyah Badeng
ini cukup sulit ditempuh, ketika sedang diguyur hujan. Sebab, jalan masih
beralaskan tanah kuning sepanjang sekitar tiga kilometer yang dikelilingi
pepohonan rimbun.
Kampung
yang masih sejuk dan jauh dari kebisingan suara kendaraan membuat nuansa
kampung ini semakin tampak masih asli dan tradisional, ditambah dengan penduduk
yang ramah lagi sopan saat menyambut tamu yang datang.
Lantunan
demi lantunan nada yang tercipta dari pukulan alat musik “Jatung Otang” dan
petikan “Sampek Kenyah” menambah suasana damai saat menginjakkan kaki di depan
dermaga yang terbuat dari kayu ulin. Dan, tarian dari anak-anak kecil yang
gemulai turut mempesona setiap mata yang memandang.
Banyak jenis tarian khas suku Dayak Kenyah di Bena Baru, Kalimantan Timur, yang masih diminati kaum muda. |
Saat
berjalan menuju balai desa, tidak ada sampah yang tampak di sepanjang jalan.
Memang, masyarakat Bena Baru sangat patuh pada peraturan kampung untuk selalu
menjaga kebersihan.
Budaya
dan adat istiadat warisan nenek moyang hingga saat ini masih dipegang teguh
oleh masyarakat Dayak setempat. Perkembangan zaman yang semakin modern tidak
lantas mengikis kebudayaan yang telah tertanam baik di kampung maupun jiwa suku
Dayak tersebut.
Agar
kebudayaan serta adat-istiadat tidak hilang tertelan zaman, masyarakat Dayak di
kampung tradisional itu mengaplikasikan kebudayaan mereka dalam kehidupan
sehari-hari. Anak-anak kecil yang masih berwajah polos pun telah diajarkan
untuk mengenal berbagai macam gerakan tari oleh orangtua mereka. Bahkan, mereka
pun sudah ahli bermain alat musik khas suku Dayak, seperti Jatung Otang dan
Sampek Kenyah.
Kondisi
kampung yang dinilai sudah memiliki syarat untuk menjadi tempat wisata, ini
akhirnya diresmikan menjadi “Kampung Budaya” oleh Pemerintah Kabupaten Berau.
Sebab,
Kampung Bena Baru dianggap telah memiliki Sapta Pesona atau tujuh kondisi yang
harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan berkunjung ke suatu
daerah.
Pagelaran
seni dan budaya suku Dayak Kenyah pun diselenggarakan oleh masyarakat setempat,
dengan dukungan penuh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau,
kemarin. Pentas seni budaya di Kampung Bena Baru pun berjalan lancar dan
sukses.
Berbagai
jenis tarian khas suku Dayak Kenyah, seperti tari Lesung Utang, tari gerak sama,
tari gong, dan tarian kolosal lainnya ditampilkan dalam pentas tersebut. Tidak
hanya kesenian tari yang mereka punya, namun aneka jenis benda antik dari nenek
moyang juga turut dipamerkan dalam pagelaran budaya tersebut, seperti gendongan
anak, tempat sirih, lampu duduk khas Dayak, baju adat lengkap dengan senjata
milik suku Dayak, dan beberapa aksesori khas Dayak yang terbuat dari manik
beraneka warna juga menghiasi pameran tersebut.
Bupati
Berau Makmur HAPK bersama Wakil Bupati Berau Ahmad Rifai turut hadir dalam
pagelaran seni dan budaya tersebut. Menurut Makmur, Kampung Bena Baru telah
sukses mempertahankan budaya lokal diiringi dengan ekonomi kreatif penduduknya.
Misal, saat sekarang masih banyak pengrajin seni ukir Dayak, pembuat baju adat,
aksesori dan alat musik tradisional suku Dayak yang masih bertahan. Dan hal
tersebut turut menjadi pertimbangan dalam mengangkat Kampung Bena Baru sebagai
“Kampung Budaya”.
Meski
begitu, akses menuju kampung yang masih menggunakan ketinting dengan tarif Rp 5
ribu sekali menyeberang, dirasa menjadi salah satu hambatan terbesar bagi
masyarakat kampung ini setelah mendapat gelar “Kampung Budaya”. Seperti kata
Kepala Kampung Bena Baru Tegun Ingan yang sangat menginginkan pemerintah
membangunkan jembatan untuk memudahkan para wisatawan lokal maupun asing, saat
ingin berkunjung ke kampung mereka.
“Hambatan
kami saat ini hanya ketiadaan jembatan untuk sarana penyeberangan, karena
selama ini kami hanya menggunakan ketinting. Dan itu yang kadang membuat
wisatawan asing yang ingin berkunjung berpikir dua kali untuk ke kampung kami
ini,” dalam kata sambutannya.
Di
samping itu, pria yang akrab disapa Gun ini mengharapkan bantuan dana dari
pemerintah daerah demi meningkatkan kunjungan wisatawan. “Kita membuat acara
pagelaran seni dan budaya seperti ini anggarannya tidak kecil. Jadi kami
berharap pemerintah tetap terus membantu kami dalam menyelenggarakan pesta
budaya untuk menarik pengunjung,” tuturnya.
Namun,
di balik hambatan tersebut, Tegun menegaskan bahwa mereka akan tetap menjaga,
melestarikan, serta menurunkan adat dan kebudayaan suku Dayak Kenyah kepada
generasi selanjutnya. Dengan harapan, agar identitas dari suku Dayak tidak
terhapus oleh budaya asing yang masuk ke Indonesia.
“Kami
akan terus menjaga dan melestarikan adat-istiadat dan kebudayaan yang kami
miliki, agar anak cucu dan generasi selanjutnya tidak akan kehilangan identitas
asli dari suku Dayak Kenyah. Ke depan, pagelaran seni dan budaya seperti ini
akan kami tampilkan lebih meriah lagi, agar banyak yang tertarik untuk datang.
Dengan begitu, akan semakin banyak yang tertarik melestarikan kebudayaan daerah
masing-masing,” tuturnya. (*/mrt/fir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar