Senin, 01 Desember 2014

Kampung Bena Baru 'Kampung Budaya'



Budaya asing yang kian mewabah di Indonesia mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat akan makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh dan terjaga, diperlukan usaha untuk mempertahankan kearifan budaya nenek moyang yang menjadi identitas negeri tercinta.

Salah satu kebudayaan suku Dayak Kenyah yang hingga kini masih bertahan.

MARTA, Bena Baru

Kampung Bena Baru merupakan salah satu kampung yang menjadi bagian dari Kecamatan Sambaliung. Kampung ini dapat ditempuh melalui jalan darat sekitar satu jam dari Kota Tanjung Redeb, kemudian menyeberangi sungai kecil menggunakan ketinting kurang lima menit.
Kondisi jalan menuju kampung yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak Kenyah Badeng ini cukup sulit ditempuh, ketika sedang diguyur hujan. Sebab, jalan masih beralaskan tanah kuning sepanjang sekitar tiga kilometer yang dikelilingi pepohonan rimbun.
Kampung yang masih sejuk dan jauh dari kebisingan suara kendaraan membuat nuansa kampung ini semakin tampak masih asli dan tradisional, ditambah dengan penduduk yang ramah lagi sopan saat menyambut tamu yang datang.
Lantunan demi lantunan nada yang tercipta dari pukulan alat musik “Jatung Otang” dan petikan “Sampek Kenyah” menambah suasana damai saat menginjakkan kaki di depan dermaga yang terbuat dari kayu ulin. Dan, tarian dari anak-anak kecil yang gemulai turut mempesona setiap mata yang memandang.
Banyak jenis tarian khas suku Dayak Kenyah di Bena Baru, Kalimantan Timur, yang masih diminati kaum muda.
Saat berjalan menuju balai desa, tidak ada sampah yang tampak di sepanjang jalan. Memang, masyarakat Bena Baru sangat patuh pada peraturan kampung untuk selalu menjaga kebersihan.
Budaya dan adat istiadat warisan nenek moyang hingga saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Dayak setempat. Perkembangan zaman yang semakin modern tidak lantas mengikis kebudayaan yang telah tertanam baik di kampung maupun jiwa suku Dayak tersebut.
Agar kebudayaan serta adat-istiadat tidak hilang tertelan zaman, masyarakat Dayak di kampung tradisional itu mengaplikasikan kebudayaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak kecil yang masih berwajah polos pun telah diajarkan untuk mengenal berbagai macam gerakan tari oleh orangtua mereka. Bahkan, mereka pun sudah ahli bermain alat musik khas suku Dayak, seperti Jatung Otang dan Sampek Kenyah.
Kondisi kampung yang dinilai sudah memiliki syarat untuk menjadi tempat wisata, ini akhirnya diresmikan menjadi “Kampung Budaya” oleh Pemerintah Kabupaten Berau.
Sebab, Kampung Bena Baru dianggap telah memiliki Sapta Pesona atau tujuh kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan berkunjung ke suatu daerah.
Pagelaran seni dan budaya suku Dayak Kenyah pun diselenggarakan oleh masyarakat setempat, dengan dukungan penuh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau, kemarin. Pentas seni budaya di Kampung Bena Baru pun berjalan lancar dan sukses.
Berbagai jenis tarian khas suku Dayak Kenyah, seperti tari Lesung Utang, tari gerak sama, tari gong, dan tarian kolosal lainnya ditampilkan dalam pentas tersebut. Tidak hanya kesenian tari yang mereka punya, namun aneka jenis benda antik dari nenek moyang juga turut dipamerkan dalam pagelaran budaya tersebut, seperti gendongan anak, tempat sirih, lampu duduk khas Dayak, baju adat lengkap dengan senjata milik suku Dayak, dan beberapa aksesori khas Dayak yang terbuat dari manik beraneka warna juga menghiasi pameran tersebut.
Bupati Berau Makmur HAPK bersama Wakil Bupati Berau Ahmad Rifai turut hadir dalam pagelaran seni dan budaya tersebut. Menurut Makmur, Kampung Bena Baru telah sukses mempertahankan budaya lokal diiringi dengan ekonomi kreatif penduduknya. Misal, saat sekarang masih banyak pengrajin seni ukir Dayak, pembuat baju adat, aksesori dan alat musik tradisional suku Dayak yang masih bertahan. Dan hal tersebut turut menjadi pertimbangan dalam mengangkat Kampung Bena Baru sebagai “Kampung Budaya”.
Meski begitu, akses menuju kampung yang masih menggunakan ketinting dengan tarif Rp 5 ribu sekali menyeberang, dirasa menjadi salah satu hambatan terbesar bagi masyarakat kampung ini setelah mendapat gelar “Kampung Budaya”. Seperti kata Kepala Kampung Bena Baru Tegun Ingan yang sangat menginginkan pemerintah membangunkan jembatan untuk memudahkan para wisatawan lokal maupun asing, saat ingin berkunjung ke kampung mereka.
“Hambatan kami saat ini hanya ketiadaan jembatan untuk sarana penyeberangan, karena selama ini kami hanya menggunakan ketinting. Dan itu yang kadang membuat wisatawan asing yang ingin berkunjung berpikir dua kali untuk ke kampung kami ini,” dalam kata sambutannya.
Di samping itu, pria yang akrab disapa Gun ini mengharapkan bantuan dana dari pemerintah daerah demi meningkatkan kunjungan wisatawan. “Kita membuat acara pagelaran seni dan budaya seperti ini anggarannya tidak kecil. Jadi kami berharap pemerintah tetap terus membantu kami dalam menyelenggarakan pesta budaya untuk menarik pengunjung,” tuturnya.
Namun, di balik hambatan tersebut, Tegun menegaskan bahwa mereka akan tetap menjaga, melestarikan, serta menurunkan adat dan kebudayaan suku Dayak Kenyah kepada generasi selanjutnya. Dengan harapan, agar identitas dari suku Dayak tidak terhapus oleh budaya asing yang masuk ke Indonesia.
“Kami akan terus menjaga dan melestarikan adat-istiadat dan kebudayaan yang kami miliki, agar anak cucu dan generasi selanjutnya tidak akan kehilangan identitas asli dari suku Dayak Kenyah. Ke depan, pagelaran seni dan budaya seperti ini akan kami tampilkan lebih meriah lagi, agar banyak yang tertarik untuk datang. Dengan begitu, akan semakin banyak yang tertarik melestarikan kebudayaan daerah masing-masing,” tuturnya. (*/mrt/fir)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar